https://magetan.times.co.id/
Berita

Mengulik Sejarah Kelam Kaum Marginal dalam Novel 'Rasina' Karya Iksaka Banu

Kamis, 24 April 2025 - 11:48
Mengulik Sejarah Kelam Kaum Marginal dalam Novel 'Rasina' Karya Iksaka Banu Dari kiri ke kanan: Asrofi Al-Kindi (moderator), Prof Djoko Saryono, MPd (memegang mikrofon), Iksaka Banu (penulis), Yuventia Prisca, MFil (Dosen Ilkom UM) dan Domini (Ketua HMD Sejarah UM 2009) (FOTO: M. Arif Rahman Hakim/TIMES Indonesia)

TIMES MAGETAN, MALANG – Penulis fiksi sejarah ternama kelahiran Yogyakarta, Iksaka Banu menghadiri dan membagikan pengalamannya dalam menulis novel terbaru berjudul 'Rasina' (2023).

Acara Bedah Buku Rasina dan Diskusi Publik: Kekerasan dan Perbudakan Dalam Lintasan Sastra dan Sejarah digelar di Kafe Pustaka, Jl Pekalongan no1, Penanggungan, Kecamatan Klojen, Kota Malang pada Rabu (23/4/25).

Di acara ini, Yuventia Prisca, MFil selaku Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang (UM) mengapresiasi karya terbaru Iksaka Banu.

"Rasina begitu baik mengangkat kembali kisah dan suara kaum Marginal yang dikemas dalam tokohnya, sebagai seorang budak, dan sebagai seorang perempuan pada masa kolonial awal," katanya.

'Rasina' sendiri membawakan interteks pada peristiwa pembantaian Banda.

Dikisahkan kala itu pasukan VOC di bawah pimpinan Jan Peterzoon Coen melakukan genosida tragis pada 1621, mengakibatkan kematian sekitar 2800 orang dan perbudakan pribumi pada kurang lebih 1700 orang.

"Rasina ini kira-kira sama dengan karya saya yang lain, Semua Untuk Belanda, Teh dan Penghianat. Semua meng-cover zaman kolonial,” tutur Iksaka.

Kerisauan dalam Rekam Sejarah

Iksaka bercerita, ketika ia duduk di Sekolah Dasar, ia sempat merenung, kenapa buku-buku sejarah di kelas hanya membicarakan peristiwa-peristiwa dan para tokoh besar.

Ia pun menggumamkan 'lalu bagaimana nasib orang-orang berpangkat rendah, seperti katakanlah para budak, jongos, rakyat jelata, buruh dan kalangan kaum marginal lainnya untuk mendapatkan tempat dalam sejarah'.

Melalui kisahnya itu, Iksaka kemudian berceletuk, "Mungkin seperti Eric Wolf (antropolog Amerika), mereka (tak ubahnya) dianggap (sebagai) orang-orang tanpa suara (dalam rekam sejarah).”

Lambat laun, setelah dewasa, Iksaka akhirnya menemukan satu hal. Ternyata kisah tentang jerih payah kaum marginal pun tetap ada yang menuliskannya. Seperti novel Max Havelaar karya Multatuli.

Tetapi tetap saja, karya-karya semacam itu sangatlah minim dan kisah tentang orang-orang marginal itu tidak tercatat di banyak buku sejarah, khususnya pelajaran sekolah.

Iksaka menyadari hal itu. Lebih-lebih, ia pun paham kebanyakan buku sejarah kita terlalu bernuansa opsisi biner yang meletakkan posisi kolonialis Belanda sebagai pihak antagonis dan bangsa kita mendapat tempat di pihak protagonis.

Sedangkan kenyataannya, fakta itu tidak sepenuhnya benar. Masa itu, banyak juga orang-orang Nusantara yang tidak baik dan begitu pula sebaliknya, orang-orang kolonial juga tak sepenuhnya buruk.

Proses Kreatif Menulis 'Rasina'

Setelah mengungkapkan latar belakang Iksaka tertarik menulis fiksi kolonial, ia pun menceritakan bagaimana ia menjalani proses kreatif dalam menulis. Khususnya dalam novel 'Rasina'.

"Sebelum saya (memulai) menulis (Rasina), saya bikin angket,” ungkap Iksaka.

Dalam prosesnya, ia menanyakan kepada banyak orang, apakah mereka mengerti peristiwa pembantaian di Banda.

Hasil angket ternyata menunjukkan hasil: banyak yang tidak mengetahui peristiwa kelam pada 1621 itu. Iksaka pun sedikit maklum. Peristiwa ini memang jarang ditulis sebelumnya oleh para sejarawan dan disebarluaskan.

Iksaka akhirnya mencoba mengemas pengetahuannya tentang peristiwa di Banda itu dalam cerpennya berjudul Kalabaka (salah satu karya dari antologi cerpen Teh dan Penghianat).

Banyak pembaca tertarik dan menyarankan kepada Iksaka untuk diolah kembali dan dijadikan karya yang lebih panjang, novel. Setelah itu, penulis yang kini berdomisili di Jakarta itu pun menulis Rasina, mulai 2017 dan terbit pada 2023.

Di akhir acara, Iksaka mengungkapkan, setidaknya terdapat satu hal yang disayangkan penulis tersebut dalam menjalani proses kreatif Rasina: ia belum bisa langsung berkunjung dan mengamati Banda. Penyebab utama waktu itu ialah pandemi Covid-19.

Dari sini ia merasa ada hal yang kurang dari proses kreatifnya. Jalan riset hanya sebatas pengkajian literatur, tanpa ada pengalaman ragawi yang secara langsung mempelajari latar yang ada sehingga berpotensi mampu membuat pembangunan latar pada novel lebih hidup. (*)

Pewarta : M. Arif Rahman Hakim (Magang MBKM)
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Magetan just now

Welcome to TIMES Magetan

TIMES Magetan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.